Kamis, 21 Februari 2008

central java phapsody

kegembiran adalah kata yang pas buat menyambut sebuah pesta akbar yang akan digelar pada tahun ini di Jawa Tengah, pemilihan gubernur (pilgub).

Mari kita lihat dari satu sisi saja dalam pilgub ini, yaitu melihat dari geliat Partai Keadilan sejahtera (PKS). Kenapa harus PKS? Karena ada sisi luar biasa ketika kita membahasnya. Masih segar dalam ingatan ketika PKS menang di ibukota. Mencengangkan. PKS bisa dikatakan sebuah kuda hitam dalam percaturan politik hari ini, itu adalah berkat sebuah kerja keras dari grass root untuk menawarkan langsung kepada masyarakat tentang arah kedepan bangsa Indonesia. Tidak hanya suara dirakyat tapi juga suara sebagai kontrol sosial yang dimiliki oleh mahasiswa yang dapat menyeimbangkan kekuatan kekuasaan.

tidak perlu jauh mencari gambaran tentang politik Jawa Tengah cukuplah Solo raya (eks karisidenan Surakarta) menjadi contohnya. Solo kota budaya yang memang benar-benar berbudaya ketika dibangun oleh Sultan Agung dalam wadah kerajaan Mataram. Sultan Agung menjadikan Solo sebagai pusat pemerintahan tanpa bayang-bayang penjajah dan Semarang menjadi pusat perdagangan. Dengan berusaha mengikis peradaban hindu, Sultan Agung menjadi penguasa Jawa Tengah sampai akhirnya jatuh ketangan penjajah karena ketidakmampuan pengganti Sultan Agung yaitu (bergelar) Amangkurat II. Jika memang demikian, Solo seharusnya sekarang menjadi ibukota Jawa Tengah.

Solo the spirit of java menjadi simbol betapa beradabnya kota ini, termasuk percaturan politiknya terutama tahun pemilu 2004. Banyak intrik kejahatan, kecurangan, dan pelecehan seksual yang mewarnai pesta demokrasi ini. Namun, ada setetes embun yang memberi dahaga bahwa partai Islam bisa memberi warna kebaikan dalam gonjang-ganjing politik di Solo. Sebuah kemenangan gilang-gumilang diraih oleh PKS, tidak pertama tapi cukup berprestasi sebagai partai pendatang baru. Harapan kehidupan yang Islami pun mencuat bak gelombang tinggi yang siap menhancurkan dermaga kemusyrikan, kemunafikan, dan kesyirikan. Sebuah gelombang gayung bersambut ketika Solo mengadakan sebuah pesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah langsung ('pilkada langsung' kalau tidak mau dibilang 'pilkadal').

Pilkada terselenggara ditengah hiruk pikuk suara pejabat yang mendatangi pengadilan negeri untuk diajukan sebagai tersangka atau saksi (tidak ada terdakwa) dalam kasus korupsi. Pilkada menampilkan 4 pasang calon walikota yang salah satunya dari PKS. Luar biasa PKS berani menampilkan calonnya ditengah budaya abangan kota Solo apalagi pasangannya sebagai calon wakil walikota diambil dari kalangan kraton. fantastis.

Pada waktu ini PKS sedang melihat jauh tentang kaum abangan di Solo apalagi dari kalangan kraton, yang dinilai banyak kaum abangan. Dianggap memiliki suara yang banyak dari kalangan kraton PKS mengambil langkah pendek untuk menaikkan jumlah konstituen. Tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-politik yang pada akhirnya menjatuhkan PKS sendiri dalam kekalahan pilkada dan kehilangan konstituen tetapnya.

PKS waktu itu melupakan kemenangannya di tahun 2004 karena bantuan kelompok Islam yang jumlahnya cukup besar di Solo yaitu MTA. Kelompok Islam ini pernah memihak PKS dalam kegiatan politiknya karena dianggap jauh lebih Islami dibanding dengan partai yang lain. Namun, kepercayaan MTA pada PKS tercederai ketika elite PKS merangkul kalangan kraton sebagai calon wakil pasangan. Sebagaimana kita ketahui MTA sangat keras penolakannya terhadap budaya bid'ah kraton yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Maka MTA melepaskan suaranya dengan mengalihkan pada pasangan lain yang lebih dinilai sesuai dengan haluan MTA. Suara MTA teralihkan pada parpol yang menjadi 'musuh' politik PKS sebenarnya di grass root yaitu PAN.

Bisa terjadi demikian karena PKS menganggap bahwa kalangan yang patuh kepada keraton banyak sekali, artinya banyak masyarakat yang masih percaya kepada kraton. Agaknya PKS lupa bahwa Sultan Agung memimpin kerajaan mataram ini didukung secara politik tapi tidak didukung secara adat. Pada saat itu Sultan Agung dianggap sebagai pejuang kemerdekaan yang pantas didukung karena keberaniannya tapi tidak(belum) mendukung Sultan Agung secara sempurna dengan adat Islamnya. Itulah yang terjadi karena PKS menganggap kehidupan sosio-politik di Solo sudah sempurna. Menganggap kaum abangan masih patuh pada keraton, tapi sebenarnya kaum abangan memang benar-benar abang(merah).

Sekarang marilah kita belajar dari pengalaman dengan melihat sosio-politik secara totalitas tanpa ada subyektifitas dan kepentingan sesaat. Melihat riil atas apa yang telah kita capai, jika belum sempurna katakanlah belum sempurna. Jika telah sempurna jelas akan terlihat sempurna tanpa perlu menunjukkannya.





nb: penulis menggunakan kata 'kaum abangan' sebagai kata yang familiar sebenarnya penulis tidak sepakat atas penggolongan kaum abangan dsb.........

membela Hegel

oleh: rastomo-fak hukum UMS

tulisan ini dibuat untuk membela Georg Wilhelm Friederich Hegel yang lahir di Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1771. Namun, pembahasan tentang pembelaan ini bukan untuk menunjukkan bahwa penulis adalah seorang Hegelian tapi hanya untuk sekedar meluruskan suatu teori yang tidak pernah diajarkannya. Tentang pembelaan Hegel ini sama halnya dengan menganggap ajaran Adam Smith tentang ekonomi mikro (pemberdayaan sektor riil) lebih sempurna ketimbang Keyness tentang ekonomi makro (perbaikan sistem moneter), artinya ketika mendukung Smith maka kita dianggap sebagai penganut teori klasik(neo-klasik) yang kolot dan tidak men-global sedangkan kalau kita percaya pada perbaikan ekonomi oleh negara dengan regulasi yang meng-global maka kita akan disebut Keynessian. Jadi, tulisan ini hanya sebuah justifikasi atas sesuatu yang sesuai dengan nilai keberpihakan kita dan orang lain yang akan menilai.

Pengaruh pemikiran filosof Jerman ini sering disebut-sebut jika berhubungan dengan perdebatan mengenai 'paham integralistik' di seputar UUD 1945. Ironisnya adalah, Hegel sering kali dianggap bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak diajarkannya: Hegel dianggap sebagai biang keladi dari fasisme Hitler maupun totaliterisme a la Lenin dan Stalin. Perlu dijelaskan disini bahwa pemikir yang sering dituduh sebagai pendiri dari materialisme modern itu pernah menulis suatu pernyataan yang tegas: Adanya negara merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan di dunia (buku philosophy of right bab 3 tentang 'state'). Dalam pandangan Hegel Tuhan bekerja melalui apa yang disebutnya sebagai 'jiwa' sekaligus 'akal', bukan seperti 'manunggaling kawula gusti' tapi maksudnya Tuhan lah yang telah menciptakan jiwa dan akal supaya manusia bisa membuat dan bekerja dalam negara.

Kekuatan yang disebut oleh Hegel sebagai negasi yang memicu lahirnya these(tesis)-antithese(antitesis)-synthese(sintesis) yang kemudian oleh Marx dan Engels digarap menjadi dialektik materialisme. Tuduhan terhadap Hegel sebagai penggung jawabnya dihubungkan dengan pernyataannya dalam pengantar philosophy of right: Apa yang masuk akal, itulah yang nyata dan apa yang nyata itulah yang masuk akal. Jadilah seolah-olah Hegel menyangkal segala perkara yang tidak nyata. Namun sebernarnya, Hegel sendiri telah mengembangkan dialektik historisnya menjadi dialektik etis, meskipun hegel sebenarnya memberi tempat yang penting kepada 'etik' seperti pernyataannya: Negara adalah perwujudan dari gagasan kesusilaan. Jadi, tidak melulu Hegel mengedepankan akal an sich melainkan juga mementingkan sesuatu yang pantas berdasarkan kemanusiaan.


masihkah Hegel bersalah atas tirani didunia dengan memutar sintesis menjadi tesis? Semuanya relatif tergantung kepada apa yang dijadikan tesis.
Kita akan lanjutkan pembahasan Pemikiran Hegel dalam tulisan yang akan datang, dimana Hegel akan berbicara tentang 'akal' dan juga kita akan membahas ketidaksukaan Hegel terhadap distorsi orientasi revolusi Perancis.





referensi: filsafat hukum-Budiono Kusumohamidjojo
philosophy of right-Hegel (bisa di download GRATIS)